Guna merangsang kepercayaan rakyat Indonesia, Jepang
membentuk Gerakan Tiga A (Nippon Cahaya Asia, Pelindung Asia, Pemimpin Asia).
Jepang berjanji, jika Perang Pasifik dimenangkan, bangsa-bangsa di Asia akan
mendapat kemerdekaannya. Selain itu, Jepang berjanji akan menciptakan kemakmuran
bersama di antara bangsa-bangsa Asia. Namun, dalam kenyataannya perlakuan
Jepang yang kejam menimbulkan perlawanan tokoh-tokoh nasionalis dan rakyat
Indonesia terhadap Jepang. Bentuk perlawanan terhadap Jepang ini dilakukan
dengan cara kooperatif, gerakan bawah tanah, dan angkat senjata.
1. Perjuangan Kooperatif (Kerjasama)
Sejumlah tokoh nasionalis Indonesia banyak yang
menggunakan kesempatan pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.
Banyak di antara mereka yang menduduki jabatanjabatan penting dalam
lembaga-lembaga yang dibentuk Jepang. Misalnya, Ir. Sukarno, Moh. Hatta, Ki
Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansyur menduduki pimpinan Pusat Tenaga Rakyat (Putera).
Mereka dikenal dengan sebutan “Empat Serangkai”. Putera merupakan sebuah
organisasi yang dibentuk Jepang pada Maret 1943, bertujuan menggerakan rakyat
Indonesia untuk mendukung peperangan Jepang menghadapi Sekutu.
Melalui Putera, para pemimpin Indonesia dapat
berhubungan dengan rakyat secara langsung, baik melalui rapat-rapat maupun media
massa milik Jepang. Tokoh-tokoh Putera memanfaatkan organisasi-organisasi itu
untuk menggembleng mental dan membangkitkan semangat nasionalisme serta
menumbuhkan rasa percaya diri serta harga diri sebagai bangsa.
Mereka selalu menekankan pentingnya persatuan,
pentingnya memupuk terusmenerus semangat cinta tanah air, dan harus lebih memperhebat
semangat antiimperialisme- kolonialisme. Organisasi Putera mendapat sambutan
yang hangat dari seluruh rakyat. Namun, karena Putera nyatanya bermanfaat bagi
bangsa Indoensia, pemerintah Jepang akhirnya membubarkannya pada April 1944.
Selain melalui Putera, para pemimpin pergerakan juga
berjuang melalui Badan Pertimbangan Pusat atau Cou Sangi In yang dibentuk Jepang pada 5 September 1943. Badan
ini beranggotakan 43 orang dan diketuai oleh Ir. Soekarno. Dalam sidangnya pada
20 Oktober 1943, Cuo Sangi In menetapkan bahwa agar Jepang menang dalam perang,
perlu dikerahkan segala potensi dan produksi dari rakyat Indoensia.
Untuk melaksanakan ketetapan itu dibentuklah berbagai
kesatuan pemuda, sebagai wadah penggemblengan mental dan semangat juang agar mereka
menjadi tenaga-tenaga pejuang yang militan. Berbagai kesatuan pemuda yang
berhasil dibentuk antara lain: Seinendan (Barisan
Pemuda), Keibodan (Barisan Pembantu Polisi), Seisyintai (Barisan Pelopor), Gakutotai (Barisan
Pelajar), dan Fujinkai (Barisan Wanita).
Pada saat penggemblengan mental itulah Ir. Soekarno
selalu menyisipkan penanaman jiwa dan semangat nasionalisme, pentingnya
persatuan dan kesatuan serta keberanian berjuang dengan risiko apa pun untuk
menuju Indonesia merdeka. Dengan demikian, kebijakan pemerintah Jepang
dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh nasional untuk perjuangan. Para pemimpin Indonesia
memanfaatkan organisasi ini untuk memupuk rasa persatuan dan kesatuan. Jelas
sekali, para pemimpin Indonesia tidak bodoh untuk dibohongi oleh Jepang.
2. Perjuangan Bawah Tanah
Perjuangan bawah tanah adalah perjuangan yang
dilakukan secara tertutup dan rahasia. Perjuang bawah tanah ini dilakukan oleh para
tokoh nasionalis yang bekerja pasa instansi-instansi pemerintahan buatan
Jepang. Jadi, di balik kepatuhannya terhadap Jepang, tersembunyi
kegiatan-kegiatan yang bertujuan menghimpun dan mempersatukan rakyat untuk
meneruskan perjuang untuk mecapai Indonesia merdeka.
Perjuangan bawah tanah ini tersebar di berbagai
tempat: Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, serta Medan. Di Jakarta terdapat
beberapa kelompok yang melakukan perjuangan model ini. Antara kelompok
perjuangan yang satu dengan kelompok perjuangan yang lain, selalu terjadi
kontak hubungan.
Kelompokkelompok perjuang tersebut, antara lain:
a. Kelompok
Sukarni
Sukarni adalah tokoh pergerakan pada zaman Hindia
Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, ia bekerja di Sendenbu (Barisan Propaganda Jepang) bersama-sama dengan Muhammad Yamin. Sukarni menghimpun
tokoh-tokoh pergerakan yang lain, antara lain: Adam Malik, Kusnaeni, Pandu Wiguna,
dan Maruto Nitimiharjo. Gerakan yang dilakukan kelompok Sukarni adalah menyebarluaskan
cita-cita kemerdekaan, menghimpun orangorang yang berjiwa revolusioner, dan
mengungkapkan kebohongan-kebohongan yang dilakukan oleh Jepang.
Sebagai pegawai Sendenbu,
Sukarni bebas mengunjungi asrama Peta (Pembela Tanah Air) yang tersebar di
seluruh Jawa. Karena itu, Sukarni mengetahui seberapa besar kekuatan
revolusioner yang anti-Jepang. Untuk menutupi gerakannya, kelompok Sukarni mendirikan
asrama politik, yang diberi nama “Angkatan Baru Indonesia” yang didukung Sendenbu. Di
dalam asrama ini terkumpul para tokoh pergerakan antara lain: Ir. Sukarno, Mohammad Hatta, Ahmad Subarjo, dan Sunarya yang
bertugas mendidik para pemuda tantang masalah politik dan pengetahuan umum.
b. Kelompok Ahmad
Subarjo
Ahmad Subarjo pada masa pendudukan Jepang menjabat sebagai Kepala
Biro Riset Kaigun Bukanfu (Kantor Penghubung Angkatan Laut) di Jakarta. Ahmad
Subarjo berusaha menghimpun tokoh-tokoh bangsa Indonesia yang bekerja dalam
Angkatan Laut Jepang. Atas dorongan dari kelompok Ahmad Subarjo, Angkatan Laut
berhasil mendirikan asrama pemuda yang bernama “Asrama Indonesia Merdeka”. Di asrama Indonesia Merdeka inilah para pemimpin bangsa
Indonesia memberikan pelajaran-pelajaran guna menanamkan semangat nasionalisme
kepada para pemuda Indonesia.
c. Kelompok Sutan
Syahrir
Sutan Syahrir merupakan tokoh besar pergerakan nasional, yang pada
zaman Hindia Belanda tahun 1935 dibuang ke Boven Digul di Irian Jaya, kemudian
dipindahkan ke Banda Neira dan terakhir ke Sukabumi. Pada masa pendudukan
Jepang, Syahrir berjuang diam-diam dengan cara menghimpun teman-teman
sekolahnya dulu dan rekan-rekan seorganisasi pada zaman Hindia Belanda. Terbentuklah
satu kelompok rahasia, Kelompok Syahrir.
Dalam perjuangannya, Syahrir juga menjalin hubungan
dengan pemimpin-pemimpin bangsa yang terpaksa bekerja sama dengan Jepang. Di
samping itu, hubungan kelompok Syahrir dengan kelompok perjuangan yang lain
berjalan cukup baik. Karena gerak langkah Syahrir dicurigai Jepang, untuk
menghilangkan kecurigaan pihak Jepang Syahrir bersedia memberi pelajaran di Asrama
Indonesia Merdeka milik Angkatan Laut Jepang (Kaigun), bersama dengan Ir. Sukarno,
Mohammad Hatta, Ahmad Subarjo, dan Iwa Kusumasumantri.
d. Kelompok
Pemuda
Kelompok Pemuda pada masa Jepang mendapat perhatian
khusus dari pemerintah Jepang. Jepang berusaha memengaruhi para pemuda
Indoensia dengan propaganda yang menarik. Dengan demikian, nantinya para pemuda
Indonesia merupakan alat yang ampuh guna menjalankan kepentingan Jepang. Jepang
menanamkan pengaruhnya pada para pemuda Indonesia melalui kursus-kursus dan
lembaga-lembaga yang sudah ada sejak zaman Hindia Belanda.
Jepang mendukung berdirinya kursus-kursus yang
diadakan dalam asrama-asrama, misalnya di Asrama Angkatan Baru Indonesia yang
terdapat Sendenbu dan Asrama Indonesia Merdeka yang didirikan Angkatan
Laut Jepang. Namun, pemuda Indonesia baik pelajar maupun mahasiswa tidak gampang
termakan oleh propaganda Jepang. Mereka menyadari bahwa imperialisme yang
dilakukan oleh Jepang pada hakikatnya sama dengan imperialisme bangsa Barat.
Pada masa itu, di Jakarta terdapat 2 kelompok pemuda
yang aktif berjuang, yakni yang terhimpun dalam asrama Ika Daikagu (Sekolah Tinggi Kedokteran) dan kelompok pemuda yang
terhimpun dalam Badan Permusyawaratan/Perwakilan Pelajar Indonesia (Baperpri).
Kelompok terpelajar tersebut mempunyai ikatan organisasi yang bernama Persatuan Mahasiswa.
Organisasi ini merupakan wadah untuk menyusun
aksi-aksi terhadap penguasa Jepang dan menyusun pertemuan-pertemuan dengan para
pemimpin bangsa. Dalam perjuangannya, kelompok pemuda juga selalu berhubungan
dengan kelompok-kelompok yang lain, yaitu kelompok Sukarni, kelompok Ahmad
Subarjo, dan Kelompok Syahrir. Tokoh-tokoh Kelompok Pemuda yang terkenal antara
lain: Chaerul Saleh, Darwis. Johar Nur, Eri Sadewo, E.A. Ratulangi, dan Syarif Thayeb.
3. Perlawanan Angkat Senjata
Perlakuan Jepang yang tak berperikemanusian
menimbulkan reaksi dan perlawanan dari rakyat Indonesia di berbagai wilayah. Kebencian
ini bertambah ketika di beberapa tempat, Jepang menghina aspek-aspek keagamaan.
Berikut ini beberapa perlawanan rakyat pada masa penjajahan Jepang.
a. Perlawanan di
Cot Plieng, Aceh
Perlawanan di Aceh ini dipimpin oleh Tengku Abdul Djalil, seorang ulama pemuda. Pada 10 November 1942,
tentara Jepang menyerang Cot Plieng pada saat rakyat sedang melaksanakan shalat
subuh. Penyerangan pagi buta ini akhirnya dapat digagalkan oleh rakyat dengan
menggunakan senjata kelewang, pedang, dan rencong.
Begitupun dengan dengan serangan kedua, tentara
Jepang berhasil dipukul mundur. Namun pada serangan yang ketiga, pasukan
Teungku Abdul Jalil dapat dikalahkan Jepang. Peperangan ini telah merenggut 90
tentara Jepang dan sekitar 3.000 masyarakat Cot Plieng.
b. Perlawanan di
Tasikmalaya, Jawa Barat
Perlawanan di Singaparna, Tasikmalaya, ini dipimpin
oleh Kyai Haji Zaenal
Mustofa. Perlawanan ini terkait dengan
tidak bersedianya K.H. Zaenal Mustofa untuk melakukan Seikeirei, memberikan penghormatan kepada Kaisar Jepang. Dalam pandangan
Zaenal Mustofa, membungkuk seperti itu sama saja dengan memberikan penghormatan
lebih kepada matahari, sementara dalam hukum Islam hal tersebut terkarang
karena dianggap menyekutukan Tuhan.
Pemerintahan Jepang kemudian mengutus seseorang
untuk menangkapnya. Namun utusan tersebut tidak berhasil karena dihadang
rakyat. Dalam keadaan luka, perwakilan Jepang tersebut memberitahukan peristiwa
tersebut kepada pimpinannya di Tasiklamalaya. Karena tersinggung, Jepang pada
25 Februari 1944 menyerang Singaparna pada siang hari setelah shalat Jumat.
Dalam pertempuran tersebut Zaenal Mustofa berhasil ditangkap dan kemudian
diasingkan ke Jakarta hingga wafatnya. Jenazahnya dikuburkan di daerah Ancol,
dan kemudian dipindahkan ke Tasikmalaya.
c. Perlawanan
Sejumlah Perwira Pembela Tanah Air di Blitar, Buana dan Paudrah (Aceh), dan
Cilacap
Perlawanan sejumlah perwira Pembela Tanah Air (Peta)
di Blitar terjadi pada 14 Februari 1945 yang dipimpin oleh Syudanco Supriyadi. Ia adalah seorang syodanco (komandan peleton) Peta. Perlawanan Supriyadi ini
disebabkan karena tidak tahan lagi melihat kesengsaraan rakyat yang mati karena
romusha. Namun perlawanan tersebut dapat diredam oleh Jepang.
Perlawanan ini tampaknya tidak direncanakan dengan
matang sehingga mudah untuk digagalkan. Akhirnya para anggota Peta yang
terrlibat perlawanan diadili di Mahkamah Militer Jepang. Orang yang berhasil
membunuh Jepang langsung dijatuhi hukuman mati, antara lain: dr. Ismangil, Muradi, Suparyono, Halir Mangkudidjaya, Sunanto,
dan Sudarmo.
Dalam persidangan tersebut, Supriyadi sendiri
sebagai pemimpin perlawanan tidak diikutsertakan. Beberapa pihak mengatakan bahwa
Supriyadi sesungguhnya sudah ditangkap dan dibunuh secara diam-diam, ada pula
pihak yang percaya bahwa Supriyadi mokswa alias
menghilangkan diri tanpa jejak Selain di Blitar, perlawanan pemuda Peta juga
meletus di dua daerah di Aceh, yaitu Buana dan Paudrah.
Pemimpinnya adalah Guguyun Teuku Hamid; ia bersama 20 peleton pasukan melarikan diri dari
asrama pada November 1944 untuk merencanakan pemberontakan. Namun Jepang
berhasil mengancam keluarga Teuku Hamid sehingga Teuku Hamid kembali lagi.
Tampaknya rencana perlawanan Teuku Hamid menambah simpati dan semangat
masyarakat sehingga kemudian muncul kembali perlawanan.
Lahirlah perlawanan Padrah di daerah Bireun, Aceh
Utara, yang dipimpin oleh seorang kepala kampung yang dibantu oleh regu Guguyun. Perlawanan tersebut menelan banyak korban dari
pihak Aceh karena semua yang tertawan akhirnya dibunuh oleh Jepang.
Di Gumilir, Cilacap perlawanan dipimpin oleh seorang
komandan regu bernama Khusaeri. Serangan pertama tentara Jepang terdesak, namun
setelah bala bantuan datang Khusaeri mampu dikalahkan. Di Pangalengan, Jawa
Barat, pun meletus perlawanan dari para personil Peta yang juga dapat
dilumpuhkan.
PERJUANGAN INDONESIA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG